Sahabat forester, kali ini kita akan
fokus membahas metode penjarangan.
Metode penjarangan merupakan salah
satu pertimbangan dalam melakukan penjarangan, selain waktu dan intensitas
cahaya. Waktu pertama kali penjarangan sangat berpengaruh terhadap
peningkatan kualitas tegakan hutan alam di
kemudian hari, walaupun ada faktor lain yang juga mempengaruhi, seperti
faktor cahaya.
Adapun dasar pemilihan diadakan atau
tidaknya penjarangan tergantung dari:
kepentingan hasil, jenis pengelolaan dan kebutuhan pasar. Berdasarkan kepentingan hasil, melihat volume total, kualitas dan
volume perpohon. Guna melihat volume total untuk hasil, tidak perlu
dilakukan penjarangan, sedangkan untuk kepentingan kualitas dan volume
perpohon, untuk vinir, kayu lapis (ply wood), kayu
gergajian (saw
mill) dilakukan penjarangan.
Sementara itu, jenis pengolahan di hutan tanaman dilakukan penjarangan,
sedangkan di hutan alam tidak dilakukan. Praktek penjarangan dan pengawasan dengan metode
sistematis, pengawasan tidak ada problem, kontrol ditekankan utamanya pada kesesuaian jumlah pohon (Ruchaemi,
2005).
Setiap kegiatan penjarangan,
sebagian dari pohon ditebang. Dalam kaitannya dengan penjarangan, ada 6 metode
pokok yaitu penjarangan rendah, penjarangan tajuk, penjarangan seleksi,
penjarangan mekanis, penjarangan bebas dan penjarangan jumlah batang
(Indriyanto, 2008).
1. Penjarangan
Rendah
Penjarangan rendah dilakukan
dengan cara menebang pepohonan kelas bawah.
2. Penjarangan
Tajuk dilakukan dengan cara menebang pepohonan kelas tajuk atas yang tidak
bernilai komersial
3. Penjarangan
seleksi
4. Penjarangan
mekanis
5. Penjarangan
bebas
6. Penjarangan
jumlah batang
Penjarangan jumlah
batang merupakan metode yang sering dan umum digunakan di Indonesia. Metode ini
diciptakan oleh Hart tahun 1929 (Manan, 1976), sehingga disebut Metode Hart.
Beberapa ketentuan metode ini antara lain: (a) penjarangan dilakukan menurut
jumlah batang dan mencari perbandingan yang baik antara jumlah batang dengan
ruang tempat tumbuh yang diperlukan untuk pertumbuhan pohon, (b) pohon yang
baik supaya diberi ruang tumbuh memadai untuk pertumbuhannya, (c) kekerasan
penjarangan dinyatakan dengan derajat penjarangan, yakni perbandingan antara
jarak antar pohon dengan tingginya pohon peninggi. Pohon peninggi adalah
rata-rata tinggi pohon dari 100 pohon tertinggi tiap hektar yang tersebar
merata.
Dalam keadaan
teratur, jarak antar dua pohon yang berdekatan dirumuskan:
dimana :
a =
rata-rata jarak pohon yang berbentuk segitiga sama sisi
b = jumlah
batang per hektar
Kekerasan
Penjarangan
Ada
empat kategori tingkat atau derajat kekerasan penjarangan, yaitu : sangat
lemah, lemah, agak keras, dan keras. Penciri atau indikator dari penjarangan
sangat lemah adalah dimulai pada pohon-pohon tertekan yang pasti akan mati
secara alami. Indikator dari penjarangan lemah adalah dilaksanakan pada
pohon-pohon tertekan yang dan beberapa dari pohon codominan. Indikator dari
penjarangan agak keras adalah dilaksanankan pada pohon-pohon codominan dan
penjarangan keras dicirikan oleh beberapa pohon dominan yang jarak
tumbuhnya tidak teratur juga ikut ditebang (Wanggai, F, 2009).
Kekerasan
penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan yakni perbandingan
antara rata-rata jarak pohon (a) dengan peninggi (Pe) dan dinyatakan dalam %.
S %
= a/Pe x 100%
Kekerasan
penjarangan dinyatakan dengan derajat kekerasan penjarangan,
yaitu perbandingan antara rata-rata jarak antarpohon dengan tingginya,
pohon peninggi. Atau merupakan suatu angka yang ditentukan berdasarkan
perbandingan (dalam persen) yang tepat antara
jarak antar pohon rata-rata dan tinggi pohon. Angka perbandingan ini kemudian
dinyatakan sebagai S%. Makin besar angka perbandingan ini, maka makin besar
pula intensitas penjarangan tegakan. Umur dan bonita tegakan dengan demikian
menentukan S% (Anonim, 2013).
Berdasarkan
S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam
persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per
ha dalam tegakan). S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam
tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal
diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S % pada
akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35 % (Sharoon, C, 2011).
Wolff
Von Wulfing juga telah menyusun tabel yang mengutarakan S% untuk berbagai
kelas umur dan bonita. Perubahan S% dalam tegakan jati penting untuk menetukan
frekuensi penjarangan. Untuk mengukur S% dengan cepat dari suatu petak
percobaan jati Ferguson membuat nomogram yang memberi hubungan antara luas
petak percobaan, jumlah batang per petak percobaan dan jumlah batang per ha dan
S%, dengan demikian dapat dilihat dengan cepat perubahan- perubahan dalam
kekerasan penjarangan, baik oleh pertumbuhan tegakan sendiri maupun oleh
kerusakan (Aldren, 2011).
Kekerasan penjarangan ditentukan
melalui Jumlah pohon perhektar dan diameter. Menurut Becking
von Becking, jumlah pohon hutan jati sama
dengan 900 ha. Di Indonesia, terutama di hutan Jati, kekerasan penjarangan atau
kerapatan tegakan ditentukan dengan bantuan S % dari Hart (1928) dan Becking
(1935) yang sudah 200 tahun tetapi masih relevan (bergayut). Berdasarkan S %,
maka dapat diketahui rataan jarak antar pohon dalam hubungannya dengan
peninggi (h dom) yang dirumuskan dengan :
S % = (a/h dom) x100
dimana
S % = angka
kekerasan penjarangan;
a = rataan jarak
antar pohon,
h dom = peninggi
tegakan
Dalam kekerasan
penjarangan ditentukan persentase jumlah pohon yang harus dibuang (apakah ditebang,
diteres, atau diracun)
dalam 1ha. Keuntungan penjarangan dengan jumlah pohon perhektar (N/ha) adalah
pelaksanannya relatif mudah, namun kelemahannya tidak dapat mencirikan berapa
besar yang diambil dari tegakan. Hal ini disebabkan oleh jumlah pohon yang sama
dapat menghasilkan bidang dasar yang berbeda. Oleh karena itu, Krammer menyukai
bidang dasar sebagai
kriteria kekerasan penjarangan karena dianggap lebih objektif dan mewakili
situasi dalam tegakan. Penjarangan dengan jumlah pohon (N) relevan digunakan apabila
distribusi diameter relatif seragam.
Misalnya S% pada
suatu bonita dan umur tegakan tertentu tertuang dalam tabel tegakan hutan
sebesar 27%, sedangkan berdasarkan pengukuran di lapangan (di suatu petak
tegakan) dengan petak coba berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha (jari-jari 17,8
meter) diperoleh nilai S% =22%. Dapat disimpulkan bahwa tegakan hutan tersebut
perlu dilakukan penjarangan.
Daftar Pustaka:
- Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara, Jakarta. 234 h.
- Manan, S. 1976. Silvikultur. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
- Taiyeb, A. 2015. Metode Penjarangan. Laboratorium Ilmu-Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Palu. http://www.asgartaiyeb.com/2015/08/metode-penjarangan.html.